Hadits-Hadits Dhaif Seputar Bulan Ramadhan
Cukup banyak hadits shahih dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang menjelaskan keutamaan bulan Ramadhan dan amal-amal shalih di dalamnya. Namun, banyak pula hadits-hadits seputar keutamaan bulan Ramadhan yang dha’if (lemah)[1. Lihat kitab Tahdzirul Khillan min Riwayatil Ahaditsi adh-Dha’ifati Hawla Ramadhan, karya Abu ‘Amr Abdullah Muhammad al-Hammadi, cetakan Daar Ibnu Hazm, cetakan ke-1, tahun 1423 H / 2002 M, Beirut, Libanon], maka kami pandang perlunya dipaparkan sekilas tentang beberapa hadits dha’if tersebut, yang telah banyak beredar di masyarakat, dan mencakup segala jenisnya.
Hadits dha’if dampak negatifnya cukup besar pada masyarakat, disebabkan adanya keyakinan orang-orang yang mengamalkannya bahwa hadits tersebut benar-benar berasal dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, baik berupa sabda atau perbuatan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, padahal kenyataannya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tidak pernah mengamalkan atau mengucapkannya. Karena inilah, maka kami anggap perlu menjelaskan hakikat hadits-hadits lemah tersebut, agar kita waspada selalu terhadap syariat yang tidak benar adanya dari Nabi kita Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam. Di antara hadits-hadits dha’if yang cukup masyhur dan sering dibawakan oleh banyak khatib dan penceramah di bulan Ramadhan tersebut adalah beberapa hadits berikut ini:
1. Hadits Anas bin Malik radhiallahu’anhu, beliau berkata:
كانَ النَّبيُّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ إذا دخلَ رجَبٌ ، قالَ : اللَّهمَّ بارِكْ لَنا في رجَبٍ وشَعبانَ ، وبارِكْ لَنا في رمَضانَ
Adalah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam jika memasuki bulan Rajab, beliau berdoa, “Ya Allah, berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban, dan berkahi kami (pula) di bulan Ramadhan”.
Hadits ini dha’if (lemah) atau munkar[2. Lihat kitab Fadha-ilu Syahri Rajab, karya al-Imam al-Hafizh Abu Muhammad al-Hasan bin Muhammad bin al-Hasan al-Khallal t (352-439 H), halaman 45, tahqiq Abu Yusuf Abdurrahman bin Yusuf bin Abdurrahman Alu Muhammad, cetakan Daar Ibnu Hazm, cetakan ke-1, tahun 1416 H / 1996 M, Beirut, Libanon].
Dikeluarkan oleh al-Imam Ahmad dalam Musnadnya (4/180 nomor 2346), dan lain-lain. Pentahqiq Musnad al-Imam Ahmad, Syaikh Syu’aib al-Arnauth menyatakan bahwa sanadnya dha’if. Dan hadits ini dilemahkan pula oleh al-Imam al-Albani t dalam kitabnya Misykatul Mashabih (1/432) dan Dha’iful Jami’ ash-Shaghir (4395).
2. Hadits Mu’adz bin Zuhrah rahimahullah (seorang tabi’i), telah sampai kepadanya kabar bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika berbuka puasa beliau berdoa:
اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطرت
“Ya Allah, untukmu aku berpuasa dan atas rizki-Mu aku berbuka puasa”.
Hadits ini mursal dan dha’if.
Dikeluarkan oleh al-Imam Abu Dawud dalam Sunan-nya (2358), dan lain-lain.
Hadits ini lemah dengan sebab irsal, yaitu terputusnya sanad antara Mu’adz bin Zuhrah dan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Lihat penjelasan terperincinya pada kitab Dha’iful Jami’ ash-Shaghir (4349) dan Irwa-ul Ghalil (4/38 nomor 919).
Hadits ini diriwayatkan pula dari sahabat Anas bin Malik radhiallahu’anhu dan Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu’anhuma. Namun, kedua-duanya pula hadits dha’if.
Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan dalam kitabnya Nailul Authar (8/340-341):
“Hadits Mu’adz (bin Zuhrah) mursal, karena dia tidak bertemu dengan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Dan hadits serupa telah diriwayatkan oleh ath-Thabrani di dalam al-Mu’jam al-Kabir dan ad-Daruquthni; dari hadits Ibnu ‘Abbas dengan sanad yang dha’if… dan ath-Thabrani (meriwayatkan) dari Anas, beliau berkata, “Adalah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam apabila berbuka puasa beliau mengucapkan:
بسم الله اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطرت
“Dengan nama Allah, ya Allah untukmu aku berpuasa dan atas rizki-Mu aku berbuka puasa”.
Namun sanadnya lemah (pula). Karena di dalamnya terdapat Dawud bin az-Zabarqan, dan dia (periwayat) matruk (yang ditinggalkan haditsnya)”[3. Lihat pula at-Talkhishul Habir (2/202) karya al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah, dan Dha’iful Jami’ ash-Shaghir (631 dan 4350) karya al-Imam al-Albani rahimahullah].
Syaikh Abu ‘Amr Abdullah Muhammad al-Hammadi berkata:
“Ketahuilah! Semoga Allah memberkahi Anda; bahwa sesungguhnya doa ini telah diriwayatkan dengan berbagai lafazh (redaksi yang mirip antara satu hadits dengan yang lainnya), yang seluruhnya lemah dan tidak dapat dijadikan hujjah (dalil). Sehingga tidak bisa digunakan untuk beribadah, dan tidak boleh (seseorang) beribadah dengannya, disebabkan kelemahan sanad-sanadnya”[4. Lihat kitab Tahdzirul Khillan min Riwayatil Ahaditsi adh-Dha’ifati Hawla Ramadhan, halaman 74].
Lalu, apa doa berbuka puasa yang dapat kita amalkan?
Doanya adalah:
ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله
/Dzahabaz zhamaa-u wabtalatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insyaa Allah/
“Telah hilang dahaga, telah basah urat-urat, dan telah tetap pahala, insya Allah”.
Hadits ini hasan, dikeluarkan oleh Abu Dawud (2357), ad-Daruquthni dalam Sunan-nya (2/185 nomor 25), dan lain-lain; dari Abdullah bin Umar. Dan al-Imam ad-Daruquthni mengatakan, “Sanad-nya hasan”. Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah dalam Nailul Authar (8/341) menjelaskan:
“(Hadits ini) diriwayatkan oleh Abu Dawud, an-Nasa-i, ad-Daruquthni, dan al-Hakim; dari hadits Ibnu Umar
dengan tambahan lafazh:
ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله
“Telah hilang dahaga, telah basah urat-urat, dan telah tetap pahala, insya Allah”.
Ad-Daruquthni mengatakan, “Sanad-nya hasan”.
3. Hadits Abu Hurairah radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
من أفطر يوما من رمضان من غير رخصة لم يقضه وإن صام الدهر كله
“Barangsiapa berbuka puasa satu hari di bulan Ramadhan tanpa rukhshah (keringanan) yang diizinkan oleh Allah; niscaya ia tidak akan dapat menggantikannya (walaupun dengan berpuasa) sepanjang masa”.
Hadits ini dha’if. Hadits ini dikeluarkan dengan lafazh seperti di atas oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya ( 2396). Dan lafazh serupa diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (723), an-Nasa-i dalam as-Sunanul Kubra (3265), Ibnu Majah (1672), Ahmad (14/554 nomor 9012), dan lain-lain. Al-Imam al-Albani t menjelaskan dalam kitabnya Tamamul Minnah fit Ta’liqi ‘ala Fiqhis Sunnah (halaman 396): “Hadits ini dha’if (lemah), dan al-Bukhari telah mengisyaratkan[5. Dalam Shahih-nya, sebelum hadits ke-1935] dengan perkataannya yudzkaru (yakni; telah disebutkan). Dan telah dilemahkan pula oleh Ibnu Khuzaimah, al-Mundziri, al-Baghawi, al-Qurthubi, adz-Dzahabi, ad-Damiri sebagaimana yang telah dinukilkan oleh al-Munawi, dan al-Hafizh Ibnu Hajar dan beliau menyebutkan tiga penyakit hadits ini; al-idhthirab, al-jahalah, dan al-inqitha’. Silahkan merujuk ke Fat-hul Bari (4/161)…”. Lihat pula Dha’if Abi Dawud (2/273-274), dan Dha’if at-Targhib wat-Tarhib (1/152 nomor 605), dan Dha’iful Jami’ ash-Shaghir (5462).
4. Hadits Abu Hurairah radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
يقولُ اللهُ عزَّ وجلَّ : إنَّ أحَبَّ عبادي إلَيَّ أسرَعُهم فِطْرًا
“Allah berfirman: Sesungguhnya di antara hamba-hambu-Ku yang paling Aku cintai adalah yang paling segera berbuka puasa”
Hadits ini dha’if, dengan sebab adanya periwayat dha’if dalam sanadnya. Dikeluarkan oleh at-Tirmidzi (700), Ahmad (12/182 nomor 7241), dan lain-lain. Lihat Dha’iful Jami’ ash Shaghir (4041).
Dan cukuplah bagi kita hadits shahih dari sahabat Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
لا يزالُ النَّاسُ بخَيرٍ ما عجَّلوا الفِطرَ عجِّلوا الفطرَ
“Manusia akan senantiasa dalam keadaan baik selama mereka menyegerakan berbuka puasa”.
Dikeluarkan oleh al-Bukhari (1957), dan Muslim (2/771 nomor 1098).
5. Hadits Anas bin Malik radhiallahu’anhu, beliau berkata:
سُئِلَ النبيُّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ أيُّ الصومِ أفضلُ بعدَ رمضانَ قال شعبانُ لتعظيمِ رمضانَ قال فأيُّ الصدقةِ أفضلُ قال الصدقةُ في رمضانَ
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ditanya: Puasa apa yang paling utama setelah Ramadhan? Beliau bersabda, “(Puasa) Sya’ban untuk mengagungkan Ramadhan”. Kemudian dikatakan kepada beliau: Sedekah apa yang paling utama?Beliau bersabda, “Sedekah di bulan Ramadhan”.
Hadits ini dha’if, dengan sebab adanya periwayat dha’if dan bermasalah dalam sanadnya.
Dikeluarkan oleh at -Tirmidzi (663), dan lain-lain. Lihat penjelasan terperincinya pada kitab Irwa-ul Ghalil (889), dan Dha’iful Jami’ ash-Shaghir (1023).
Dan cukuplah pula bagi kita hadits shahih dari sahabat Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu’anhuma, beliau berkata:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم أجود الناس ، وكان أجود ما يكون في رمضان حين يلقاه جبريل ، وكان يلقاه في كل ليلة من رمضان فيُدارسه القرآن ، فالرسول الله صلى الله عليه وسلم أجودُ بالخير من الريح المرسَلة
Adalah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam orang yang paling dermawan, dan kedermawanan beliau paling tinggi pada bulan Ramadhan. Sesungguhnya Jibril ‘alaihissalam berjumpa dengan beliau pada setiap tahunnya di bulan Ramadhan hingga berakhir, dan beliau membacakan (memperdengarkan) al-Quran kepada Jibril. Maka jika Jibril berjumpa dengannya, Rasulullah `adalah lebih mulia (dermawan) dari angin yang berhembus. Dikeluarkan oleh al-Bukhari (6, 1902, 3220, 3554, 4997), dan Muslim (4/1803 nomor 2308), dan lafazh hadits di atas dalam Shahih Muslim.
6. Hadits Abu Hurairah radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
أول شهر رمضان رحمة ووسطه مغفرة وآخره عتق من النار
“Permulaan bulan Ramadhan adalah rahmat (kasih sayang Allah), pertengahannya adalah maghfirah (ampunan Allah), dan akhirnya adalah pembebasan dari api neraka”.
Hadits ini dha’ifun jiddan (lemah sekali), atau munkar[6. Lihat kitab Tahdzirul Khillan min Riwayatil Ahaditsi adh-Dha’ifati Hawla Ramadhan, halaman 146]. Tentang hadits ini, al-Imam al-Albani tmenjelaskan dalam kitabnya Silsilatul Ahaditsi adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah (4/70 nomor 1569): “Dikeluarkan oleh al-‘Uqaili dalam ad-Dhu’afa (172), dan Ibnu ‘Adi (1/165), dan al-Khathib dalam al-Mudhih (2/77), dan ad-Dailami (1/1/10-11), dan Ibnu ‘Asakir (8/506/1); dari Sallam bin Sawwar, dari Maslamah bin ash-Shalt, dari az-Zuhri, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah; beliau berkata, Rasulullah `bersabda… dan kemudian beliau sebutkan haditsnya. Dan al-‘Uqaili berkata, “Tidak ada asal-usulnya dari hadits az-Zuhri”. Saya (al-Albani) katakan bahwa Sallam bin Sulaiman bin Sawwar, dia menurutku Munkarul Hadits (haditsnya munkar), sedangkan Maslamah tidak dikenal. Demikianlah yang juga disebutkan oleh adz-Dzahabi. Adapun Maslamah, maka Abu Hatim juga telah berkata tentangnya, “Matrukul Hadits (haditsnya ditinggalkan)”, sebagaimana disebutkan pada biografi beliau dalam kitab al-Mizan…”. Lihat pula Silsilatul Ahaditsi adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah (2/262-264 nomor 871).
7. Hadits Abu Mas’ud al-Ghifari radhiallahu’anhu, beliau berkata:
سمِعتُ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم ذاتَ يومٍ وأهلَّ رمضانُ فقال لو يعلمُ العبادُ ما رمضانُ لتمنَّت أمَّتي أن تكونَ السَّنةُ كلُّها رمضانَ فقال رجلٌ من خزاعةَ يا نبيَّ اللهِ حدِّثْنا فقال إنَّ الجنَّةَ لتُزيَّنَ لرمضانَ من رأسِ الحوْلِ إلى الحوْلِ فإذا كان أوَّلُ يومٍ من رمضانَ هبَّت ريحٌ من تحتِ العرشِ فصفَّقت ورقُ أشجارِ الجنَّةِ فتنظرُ الحورُ العينُ إلى ذلك فيقلن يا ربَّنا اجعلْ لنا من عبادِك في هذا الشَّهرِ أزواجًا نقرُّ بهم وتقرُّ أعينُهم بنا قال فما من عبدٍ يصومُ يومًا من رمضانَ إلَّا زُوِّج زوجةً من الحورِ العينِ في خيمةٍ من درَّةٍ كما نعت اللهُ عزَّ وجلَّ { حُورٌ مَقْصُورَاتٌ فِي الْخِيَامِ } على كلِّ امرأةٍ منهنَّ سبعون حُلَّةً ليس منها حُلَّةٌ على لونِ الأخرَى وتُعطَى سبعين لونًا من الطِّيبِ ليس منه لونٍ على ريحِ الآخرِ لكلِّ امرأةٍ منهنَّ سبعون ألفَ وصيفةٍ لحاجتِها وسبعون ألفَ وصيفٍ مع كلِّ وصيفٍ صفحةٌ من ذهبٍ فيها لونُ طعامٍ يجِدُ لآخرِ لُقمةٍ منها لذَّةً لم يجدْه لأوَّلِه ولكلِّ امرأةٍ منهنَّ سبعون سريرًا من ياقوتةٍ حمراءَ على كلِّ سريرٍ سبعون فراشًا بطائنُها من إستبرقٍ فوق كلِّ فراشٍ سبعون أريكةً ويُعطَى زوجُها مثلَ ذلك على سريرٍ من ياقوتٍ أحمرَ موشَّحًا بالدُّرِّ عليه سُوران من ذهبٍ هذا بكلِّ يومٍ صامه من رمضانَ سوَى ما عمِل من الحسناتِ
Aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pada suatu hari menjelang Ramadhan, beliau bersabda, “Seandainya para hamba tahu apa yang terdapat pada bulan Ramadhan, niscaya umatku berangan-angan agar satu tahun seluruhnya bulan Ramadhan”. Lalu seorang dari Khuza’ah berkata, “Wahai Nabi Allah! Kabarilah kepada kami (keutamaan Ramadhan tersebut)!”.
Maka Rasulullah pun bersabda, “Sesungguhnya surga dihiasi untuk (menghadapi) bulan Ramadhan dari permulaan tahun ke tahun (berikutnya). Maka apabila masuk hari pertama di bulan Ramadhan, bertiuplah angin dari bawah ‘Arsy, dan berdesirlah dedaunan pohon-pohon surga. Kemudian para bidadari melihatnya , dan mereka berkata, Wahai Rabb kami, jadikanlah untuk kami dari hamba -hamba-Mu yang shalih di bulan ini para suami yang kami berbahagia dengan mereka dan mereka pun berbahagia dengan kami”.
Beliau pun kembali bersabda, “Maka tidaklah seorang hamba pun berpuasa satu hari di bulan Ramadhan, melainkan ia pasti akan dinikahkan dengan isteri dari kalangan bidadari di dalam kemah yang terbuat dari mutiara, sebagaimana Allah sifatkan mereka dalam firman-Nya: (Bidadari-bidadari) yang jelita, putih bersih, dipingit dalam rumah (kemah). [QS. Ar-Rahman: 72]. Setiap orang dari bidadari-bidadari tersebut memiliki tujuh puluh jubah, yang masing-masingnya berwarna berbeda dari warna jubah yang lainnya. Para bidadari itu pun diberi tujuh puluh jenis parfum, yang masing-masingnya beraroma berbeda dari yang lainnya. Mereka pun memiliki tujuh puluh ribu pelayan, yang masing-masing dari pelayan tersebut membawa nampan dari emas yang di atasnya terdapat makanan yang setiap suapan dari makanan tersebut memiliki kelezatan yang berbeda dari kelezatan suapan-suapan berikutnya. Kemudian para bidadari itu pun memiliki tujuh puluh ranjang terbuat dari permata berwarna merah, yang di atas setiap ranjang tersebut terdapat permadani yang bantalannya terbuat dari sutera . Dan di atas setiap permadani tersebut terdapat dipan-dipan. Demikianlah para suami mereka pun diberi hal yang sama. Mereka berada di atas ranjang yang terbuat dari permata merah yang dihiasi oleh mutiara, dan berpagarkan emas. Ini adalah balasan untuk satu harinya di bulan Ramadhan, belum termasuk pahala lainnya dari amal-amal baik yang ia kerjakan”.
Hadits ini maudhu’ (palsu)[7. Lihat kitab Tahdzirul Khillan min Riwayatil Ahaditsi adh-Dha’ifati Hawla Ramadhan, halaman 151-155. Lihat pula Dha’if at-Targhib wat-Tarhib (1/149 nomor 596)]
Syaikh Abu ‘Amr Abdullah Muhammad al-Hammadi berkata[8. Lihat kitab Tahdzirul Khillan min Riwayatil Ahaditsi adh-Dha’ifati Hawla Ramadhan, halaman 151 dan yang setelahnya, dengan sedikit pengurangan]:
“(Hadits ini) dikeluarkan oleh Abu Ya’la dalam Musnad-nya [sebagaimana dalam al-Matholibul ‘Aliyah (1/396) (1032)], dan asy-Syasyi dalam Musnad-nya (2/277) (852), dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya (3/160) (1886), dan al-Ashbahani dalam at-Targhib wat Tarhib (2/356) (1765), dan Ibnu Abid Dun-ya dalam Fadha-ilu Ramadhan (halaman 49) (22), dan al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (3/313) (3634) dan dalam Fadha-ilul Awqat (halaman 158) (46), dan Ibnul Jauzi dalam al-Maudhu’at (2/547) (1119); dari jalan Jarir bin Ayyub, dari asy-Sya’bi, dari Nafi’ bin Burdah, dari Abdullah bin Mas’ud (atau dari Abu Mas’ud), ia berkata, Aku mendengar Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda di permulaan bulan Ramadhan… kemudian menyebutkan haditsnya”.
Hadits ini terkadang diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud, dan terkadang dari Abu Mas’ud al-Ghifari. Oleh karena itu, al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam kitabnya al-Matholibul ‘Aliyah (1/397) setelah beliau membawakan hadits ini, “Dan Ibnu Mas’ud bukanlah al-Hudzali yang masyhur, akan tetapi dia adalah al-Ghifari, (sahabat) yang lain”.
Dan yang menyebabkan hadits ini dihukumi palsu adalah karena di dalam sanadnya terdapat perawi yang bernama Jarir, yaitu Jarir bin Ayyub bin Abi Zur’ah bin ‘Amr bin Jarir al-Bajali al-Kufi. Seorang perawi hadits yang dihukumi oleh para ulama hadits; munkarul hadits (haditsnya munkar), atau dha’iful hadits (haditsnya lemah), atau bahkan pemalsu hadits[9. Lihat kitab Tahdzirul Khillan min Riwayatil Ahaditsi adh-Dha’ifati Hawla Ramadhan, halaman 207. Lihat pula Silsilatul Ahaditsi adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah (13/640 nomor 6294)].
Al-Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata dalam kitabnya al-Maudhu’at (2/549): “Hadits ini palsu (dipalsukan) atas nama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, dan yang tertuduh memalsukannya adalah Jarir bin Ayyub”.
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah mengatakan dalam kitabnya al-Matholibul ‘Aliyah (1/397): “Jarir bin Ayyub menyendiri dalam (periwayatan) hadits ini, sedangkan dia sangat lemah sekali”.
Dan al-Imam asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan pula dalam kitabnya al-Fawa-idul Majmu’ah (halaman 88): “Diriwayatkan oleh Abu Ya’la dari Ibnu Mas’ud secara marfu’ (sampai kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam), dan hadits ini palsu. Penyakitnya adalah Jarir bin Ayyub”.
8. Hadits Anas bin Malik radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
مَنْ تأمَّل خَلْقَ امرأةٍ حتى يتبيَّنَ له حجمُ عظامِها من ورائِها وهو صائمٌ فقد أفطرَ
“Barangsiapa memperhatikan bentuk (rupa) seorang wanita hingga jelas baginya bentuk tulangnya dari balik pakaiannya sedangkan ia sedang berpuasa; maka batal (puasanya)”.
Hadits ini maudhu’ (palsu)[10. Lihat kitab Tahdzirul Khillan min Riwayatil Ahaditsi adh-Dha’ifati Hawla Ramadhan, halaman 207. Lihat pula Silsilatul Ahaditsi adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah (13/640 nomor 6294)].
Hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu ‘Adi dalam kitabnya al-Kamil fi adh-Dhu’afa (3/204), dan melalui jalannya Ibnul Jauzi mengeluarkan dalam kitabnya al-Maudhu’at (2/559), dan lain-lain; dari jalan al-Hasan bin ‘Ali al-‘Adawi, ia berkata: Telah mengkhabarkan kepada kami Kharasy bin Abdillah seorang pelayan Anas bin Malik, ia berkata: Telah mengkhabarkan kepada kami Anas bin Malik, beliau berkata: Rasulullah ` bersabda… kemudian menyebutkan haditsnya.
Pada sanad hadits ini terdapat dua orang perawi yang bermasalah, yaitu al-Hasan bin ‘Ali al-‘Adawi, ia seorang pemalsu dan pencuri hadits. Dan orang yang kedua adalah Kharasy bin Abdillah, seorang perawi yang majhul (tidak diketahui keberadaan periwayatannya) dan tidak dikenal.
Al-Imam Ibnul Jauzi t berkata dalam kitabnya al-Maudhu’at (2/559): “Ini adalah hadits palsu, dalam (sanadnya) terdapat dua orang pendusta, yang pertama; al-‘Adawi, dan yang kedua; Kharasy”.
9. Hadits Salman bin ‘Amir adh-Dhabbi radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
الصائم في عبادة و إن كان راقدا على فراشه
“Orang yang berpuasa dalam (keadaan) beribadah, walaupun ia tidur di atas ranjangnya”.
Hadits ini dha’if atau dha’ifun jiddan (lemah sekali)[11. Lihat kitab Tahdzirul Khillan min Riwayatil Ahaditsi adh-Dha’ifati Hawla Ramadhan, halaman 207. Lihat pula Silsilatul Ahaditsi adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah (13/640 nomor 6294)].
Hadits ini dikeluarkan oleh Tammam dalam Fawa-id-nya (2/49) (1109) dari jalan; Hasyim bin Abi Hurairah al-Himshi, dari Hisyam bin Hassan, dari Ibnu Sirin, dari Salman bin ‘Amir adh-Dhabbi, dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.
Sanad hadits ini dha’if, disebabkan adanya beberapa perawi yang majhul dan dha’if, seperti Hasyim bin Abi Hurairah al-Himshi dan Hisyam bin Hassan yang telah disebutkan di atas.
10. Hadits Abu Hurairah radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
الصومُ نِصفُ الصَّبرِ
“Puasa adalah setengah kesabaran…”.
Hadits ini dha’if (lemah)[12.Lihat kitab Tahdzirul Khillan min Riwayatil Ahaditsi adh-Dha’ifati Hawla Ramadhan, halaman 287. Lihat pula Silsilatul Ahaditsi adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah (8/281 nomor 3811), dan Dha’iful Jami’ ash-Shaghir (3581 dan 3582)].
Al-Imam al-Albani rahimahullah menjelaskan dalam kitabnya Silsilatul Ahaditsi adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah (8/281 nomor 3811):
“Dikeluarkan oleh Ibnu Majah (1/531), dan al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab (3/292/3577, 3578), dan al-Qadha’i dalam Musnad asy-Syihab (1/13); dari Musa bin ‘Ubaidah, dari Jahman, dari Abu Hurairah secara marfu’ (sampai Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam). Dan ini sanad yang dha’if, disebabkan Musa bin ‘Ubaidah, dan ia telah disepakati atas kelemahannya”.
Demikianlah beberapa hadits dari sekian banyak hadits lemah dengan segala jenisnya yang disandarkan kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tentang seputar bulan Ramadhan, namun tidak sah dan tidak benar asalnya dari beliau Shallallahu’alaihi Wasallam.
Al-Imam Abdullah bin al-Mubarak rahimahullah (181 H) telah berkata:
في صحيح الحديث شغل عن سقيمه
“Pada sebuah hadits yang shahih terdapat sesuatu yang menyibukkan dari (beramal dengan) hadits lemah”[13.Lihat al-Jami’ li Akhlaqir Rawi wa Adabis Sami’ (2/159), karya al-Imam al-Khathib al-Baghdadi t (463 H)].
Mudah-mudahan tulisan ringkas ini bermanfaat, menambah ilmu, iman dan amal shalih kita semua.
Wallahu A’lamu bish Shawab.
***
Penulis: Ust. Arief Budiman, Lc.
Artikel Muslim.or.id
____
🔍 Hukum Merayakan Isra Mi Raj, Doa Buat Diri Sendiri, Gambar Akhlak, Doa Takziah Menurut Sunnah, Abu Hasan Al-asy`ari
Artikel asli: https://muslim.or.id/28116-hadits-hadits-dhaif-seputar-bulan-ramadhan.html